Selasa, 03 Januari 2012

Guci Cantik dan Kaleng Kosong

Layaknya pasangan yang baru saja menikah, kami sedang suka-sukanya  jalan-jalan menikmati indahnya hidup.  Suatu sore di awal September 2002 kami berdua menyegaja jalan-jalan menyusuri Malioboro, sebuah kawasan yang tak asing lagi bagi para pelancong baik asing maupun domestik.  Lokasi  wisata yang terhampar unik di Kota Yogyakarta ini memang selalu ramai dikunjungi orang.  Beragam niat orang datang ke sana.  Ada yang sekedar jalan-jalan melihat-lihat suasana, ada yang menuruti hobi mengamati barang-barang kerajinan yang antik ada juga yang memang berniat berbelanja, memborong barang-barang yang banyak dijajakan di sana.

Kami sangat menikmati suasana sore yang  tampak ramai padat disesaki pengunjung kala itu.  “Mumpung sudah sampai sini maka harus benar-benar dinikmati dan dimanfaatkan kesempatan ini”, begitu pikirku waktu itu.  Karena kebetulan kami menetap di Bogor sehingga untuk bisa pergi ke Yogya seperti ini barangkali menjadi sesuatu yag cukup langka kesempatannya buat kami.  Aksi berbelanja pun kami mulai.  Mulai dari mencicipi makanan-makanan khas Kota Gudeg ini sampai beli-beli barang-barang antik seperti aneka karpet dan guci-guci cantik khas Yogya. Sebenarnya saat itu sempat terbersit dalam benakku, “Buat apa belanja barang-barang seperti ini.  Kalau dipikir-pikir ini kan bukan kebutuhan mendesak.”    Apalagi mengingat kondisi ekonomi rumah tangga kami yang memang belum mapan.  Maklum kami baru 3 bulan menikah.  Namun entah mengapa bisikan hatiku bahwa kesempatan ini belum tentu terulang dua kali  terasa begitu kuat.  Pemikiranku pun mampu dikalahkannya.  Aku tak kuasa menahan keinginanku.  Padahal kondisi awal-awal berumah tangga menuntut kami untuk banyak berhemat.  Suamiku seperti tidak tega untuk melarang keinginanku waktu itu.  Mungkin dia bermaksud membahagiakan istrinya.

Mula-mula kami tertarik untuk membeli karpet.  Barang yang sebenarnya tidak mendesak kami butuhkan.  Kebetulan di rumah kami di Bogor telah ada karpet yang masih bisa dibilang lumayan bagus.  “Ah…kan untuk cadangan, nanti kalau-kalau usang bisa langsung ada gantinya”, begitu pintarnya aku menyusun alasan waktu itu”.    Dan tidak tanggung-tanggung kami sekaligus membeli dua buah dengan corak berbeda.  Setelah berhasil menenteng dua buah karpet, kami pun tersenyum lega karena telah berhasil membawa pulang barang antik itu.  Giliran berikutnya adalah beraksi melihat-lihat koleksi guci.  Aku pun tertarik untuk membelinya.  “Sebuah guci cantik yang akan menambah indah pojok ruang tamu kami”, pikirku penuh harap.  Transaksi pu berjalan lancar.  Berhasillah kami tenteng sebuah guci cantik khas Yogya ini.  Meski kami harus mengeluarkan uang relatif besar, namun pikir kami waktu itu, ”Nggak apa-apalah, sekali-kali, mumpung sudah sampai Yogya, takut menyesal nanti kalau nggak beli apa-apa”.  Lagi-lagi kami membela diri.

Kami terus menyusuri  sela-sela pedagang yang ramai berjejer di sepanjang jalan Malioboro tersebut.  Di tengah keasyikan kami memilih-milih belanjaan, tiba-tiba sebuah tangan mungil, hitam, kotor dan lusuh menjulurkan sebuah kaleng kosong  ke arah kami.  Selintas sempat membuatku bergumam, “Ah…lagi asyik-asyik begini diganggu.  Banyak amat sih…pengemis di dunia ini.  Nggak di Bogor, nggak di Yogya…pengemis bertebaran kayak kacang goreng.”   Aku korek-korek saku baju untuk mencari-cari di mana terselip uang receh.    “Nah…ini dia !!”, kutemukan logam seratus perak.  Dengan cepat kumasukkan logam seratus perak tadi ke dalam kaleng pengemis cilik yang lusuh tadi.  Seperti hendak membela diri, karena tidak mau dibilang pelit, kikir, nggak punya jiwa sosial serta tuduhan-tuduhan nggak enak lainnya, sempat aku bergumam lagi,  “Bukan nggak mau ngasih…habis pengemis jaman sekarang kan banyak pura-puranya, terus suka dikoordinir dan direkayasa gitu.  Jadi mau ngasih tuh…rasanya jadi kurang ikhlas.” Ucapku bernada membela diri.  Suamiku pun sempat tersenyum melihat adegan itu.  Pengemis cilik itu pun berlalu dari hadapan kami.  Entah pergi kemana, kami sudah tidak menghiraukannya lagi.

Belum bosan melihat-lihat, kami teruskan langkah sampai akhirnya kami berniat untuk istirahat sambil makan-makan.  Kami timbang-timbang, mau makan di Mc Donald atau KFC atau Restoran Cianjuran.  Lagi-lagi berperang antara keinginan dan kebutuhan.  Takut terlalu merasa bersalah, akhirnya kami makan di sudut Malioboro yang menurut kami nggak mewah-mewah amat.  Namun ternyata kami pun terpaksa harus membayar cukup mahal untuk jenis makanan yang kami santap waktu itu. Lagi-lagi kami harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang lumayan besar hanya untuk bisa mencicipi makanan ala Malioboro ini.

Menjelang maghrib kami bermaksud menyudahi acara jalan-jalan yang sedari siang telah kami nikmati.  Kami berjalan menuju arah stasiun Kereta Api yang terletak tidak jauh dari arena Malioboro.  Dan kami akan segera menempuh perjalanan pulang kembali ke Bogor.  Namun alangkah  terkejutnya aku, ketika guci yang oleh suamiku diletakkan di sebelahnya tiba-tiba tak sengaja tersenggol kaki kiriku.  Pyarrr…..pecahlah guci cantik berharga puluhan ribu itu.  Guci yang belum sempat aku pajang dan belum sempat dinikmati oleh tamu-tamu yang datang ke rumahku di Bogor.  Guci yang belum sempat aku ceritakan dengan bangganya di hadapan teman-temanku bahwa guci cantik ini asalnya dari Yogya.  Sesaat aku termenung memandangi puing-puing guci di hadapan ku.  Tak sadar air mataku mengalir deras.  Ada sebuah rasa yang sangat dalam menyeruak di hatiku.  Melihat ekspresiku waktu itu, suamiku tampak bingung dan tidak mengerti mengapa Aku menangis.  Dengan nada menenangkan, suamiku bermaksud membujukku, “Sudahlah, mengapa harus menangis.  Kan masih bisa beli lagi…toh kita masih di Malioboro.  Tuh… penjual guci itu nggak jauh dari tempat kita berdiri.  Ayo kita beli lagi” bujuk suamiku berusaha meredakan tangisku yang tak jua berhenti.

Aku masih belum berkedip memandangi pecahan-pecahan guci tadi.  Masih dengan deraian air mata, Aku menggeleng pelan, “Bang…adik menangis bukan karena harus kehilangan dan tidak bisa menikmati guci ini.  Adik menangis karena adik takut kepada Allah.  Kita telah diberi peringatan langsung oleh Allah, agar kita tidak bermegah-megah dengan hidup ini.  Betapa kerdil jiwa kita ini…Bang.  Adik ingat…sewaktu kita belanja tadi, ada seorang anak kecil peminta-minta  menengadahkan kaleng kosongnya di hadapan kita.  Namun apa yang kita lakukan?”   “Kita hanya memasukkan logam seratus perak ke dalam kaleng kosongnya.  Itu pun sambil bergumam.  Bukti ketidakikhlasan kita.”  “Adik sedih…kita nggak pernah menghitung-hitung berapa puluh ribu kita harus keluar uang untuk membeli karpet serta  membeli guci ini.  Kita juga tidak menghitung-hitung berapa banyak uang yang kita kemuarkan hanya untuk sekedar mencicipi makanan di Malioboro ini.   Namun kita begitu perhitungan ketika akan memberikannya untuk pengemis kecil tadi.  Pengemis itu lebih mendesak membutuhkan uang.  Dia mengais rupiah demi rupiah dari orang-orang yang menaruh belas kasihan kepadanya hanya sekedar untuk makan hari ini, sekedar untuk mempertahankan hidupnya hari ini.  Tapi kita…mengeluarkan puluhan bahkan ratusan ribu hanya demi sebuah kesenangan dan keinginan semata, bukan suatu kebutuhan.    Padahal kalau kita sadar.  Betapa puluhan bahkan ratusan ribu yang kita keluarkan untuk membeli karpet dan guci ini akan musnah bersama usangnya karpet dan pecahnya guci.  Namun seratus perak yang kita masukkan ke dalam kaleng kosong pengemis cilik tadi, itulah yang akan dilipatgandakan sampai 70 bahkan 700 bulir.  Ratusan ribu yang kita keluarkan barusan tidak akan mampu menolong kita di Hari Perhitungan nanti.  Seratus perak itulah ”  “Kita bersyukur Allah telah memberikan teguran secepat ini, agar kita tidak terlena dan berlarut-larut dalam ketidaksadaran tentang apa yang mesti kita perbuat dalam hidup ini.”  Suamiku pun tersenyum dan menganngguk, sambil mengusap kepalaku tanda setuju. 

Sumber: anonin [ManajemenQolbu.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda, terima kasih...