Tampilkan postingan dengan label INSPIRASI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label INSPIRASI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Januari 2012

Hati: Berbicara Semangat

Malam berbalut hitam. 
Mimpi di malam setelah jauh petang. 

Harap hari-hari esok terurut. 
Kerja keras tertuntut. 
Do'a berbuntut. 

Senyum menangkis kesedihan. 
Air mata enggan merayu kebahagiaan. 

Bahagia teramat berkarib air mata. 
Sedih teramat tak kenal senyum. 

"Aku ingin jadi Dokter." 
"Mengapa?" 
"Karena nanti aku bisa mengobati orang sakit." 

"Aku ingin jadi Insinyur." 
"Mengapa?" 
"Karena nanti aku bisa membuat gedung-gedung tinggi dan kuat." 

"Aku ingin jadi Pilot." 
"Mengapa?" 
"Karena nanti aku bisa terbang ke angkasa." 

"Aku ingin jadi Guru." 
"Mengapa?" 
"Karena nanti aku bisa mengajari anak-anak bangsa menjadi anak berprestasi." 

"Aku ingin jadi Koki." 
"Mengapa?" 
"Karena nanti aku bisa masak macam-macam makanan lezat dan sehat ." 

16 tahun terinjak. 

"Ini aku. Punya berjuta mimpi. Mimpi tak pernah mati. Keyakinan memangku semangat menjinjing sekantong harapan. Buku-buku do'a. Cepuk kegigihan. Serutan semangat. Misting kekuatan. Tumbler kepercayaan diri, dan tissue jika ada air mata." 
"Berjuanglah!" 
"Selalu."



Buah karya: Irsyad Nuro [ dengan judul asli: 220112. red ]
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150399372038239


Selasa, 17 Januari 2012

Belajar dari: Hellen Adams keller


Hellen Adams Keller dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1880 di Tuscumbia, sebuah kota kecil di barat laut Alabama, Amerika Serikat. Anak perempuan dari pasangan Kapten Arthur Henley Keller dan Kate Adam Keller. Sewaktu dilahirkan Helen memiliki penglihatan dan pendengaran yang normal. Kate Keller berpostur tinggi bagai patung pirang dengan mata biru. Ia 20 tahun lebih muda dari suaminya, Kapten Keller, orang Selatan yang loyal yang dengan bangga mengabdi sebagai tentara sekutu selama perang sipil.Rumah yang mereka tinggali sederhana, bercat putih, rumah papan yang dibangun pada tahun 1820 oleh buyut Helen. Saat Helen lahir, keluarganya jauh dari kaya, dengan Kapten Keller yang mencari nafkah sebagai pemilik perkebunan kapas dan editor mingguan sebuah Koran lokal “North Alabamian”. Ibu Helen sebaik pekerjaan yang dilakukannya di perkebunan, ia juga menyimpan uang dari membuat sendiri mentega, lemak babi, bacon, dan ham.

Helen Jatuh Sakit
Tapi kehidupan Helen berubah secara dramatis. Pada Pebruari 1882, saat Helen berusia 19 bulan, ia jatuh sakit. Hingga hari ini, penyakitnya masih merupakan misteri. Dokter-dokter pada zamannya menyebutnya “demam otak”, sedangkan dokter-dokter modern berpendapat bahwa itu mungkin demam jengkering atau radang selaput. Apapun penyakitnya, Helen, untuk beberapa hari diduga akan meninggal. Ketika akhirnya demamnya reda, keluarga Helen bergembira meyakini puteri mereka akan sehat kembali. Namun, ibu Helen memperhatikan bagaimana anak perempuannya gagal merespon ketika bel makan malam berbunyi atau ketika ia melewati tangannya di depan mata putrinya.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa penyakit Helen telah membuatnya buta dan sekaligus tuli. Beberapa tahun yang menyusul terbukti sangat berat bagi Helen dan keluarganya. Helen menjadi anak yang sangat sulit, menghancurkan piring-piring dan lampu-lampu dan meneror seluruh anggota keluarga dengan teriakannya dan tingkahnya yang penuh amarah. Para kerabat menganggapnya sebagai monster dan berpendapat bahwa ia harus ditempatkan di sebuah institusi.

Seiring waktu, ketika Helen berusia 6 tahun, keluarganya menjadi putus asa. Setelah melihat Helen membuktikan terlalu banyak bagi mereka, Kate Keller membaca di dalam buku Charles Dickens “Catatan Amerika”, pekerjaan yang fantastis yang dilakukan bersama anak tuli dan buta yang lain, Laura Bridgman, dan melakukan perjalanan ke dokter spesialis di Baltimore untuk meminta saran. Mereka mendapat konfirmasi bahwa Helen tidak akan pernah melihat atau mendengar lagi tapi mengatakan pada mereka agar tidak menyerah, dokter yakin Helen dapat diajari dan ia menyarankan mereka untuk mengunjungi ahli setempat yang menangani masalah anak-anak tuli. Ahli ini adalah Alexander Graham Bell, penemu telepon, Bell sekarng berkonsentrasi atas apa yang ia anggap sebagai panggilan jiwanya yang sejati, mengajar anak-anak tuli.

Alexander Graham Bell menyarankan agar Keller menulis surat ke Michael Anagnos, direktur Institusi Perkins dan suaka bagi yang buta di Massachussets, dan memintanya untuk mencoba mencarikan seorang guru bagi Helen. Michael Anagnos mempertimbangkan kasus Helen dan segera merekomendasikan guru yang dahulu mengajar di institusi itu, wanita itu adalah Anne Sullivan.


Anne Sullivan
Anne Sullivan kehilangan sebagian besar penglihatannya ketika berusia 5 tahun. Pada Oktober 1880, sebelum Anne akhirnya pergi dan mulai memasuki pendidikannya di Institursi Perkins. Pada suatu musim panas selama waktunya di institusi, Anne mendapat 2 kali operasi pada kedua matanya, yang membuatnya mendapatkan cukup penglihatan untuk dapat membaca tulisan secara normal selama periode waktu yang singkat.

Anne lulus dari Perkins pada tahun 1886 dan mulai mencari pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan luar biasa sukar untuk Anne, akibat dari penglihatannya yang buruk dan ketika ia mendapat tawaran dari Michael Anagnos untuk bekerja sebagai guru bagi Helen Keller, seorang yang tuli, buta dan bisu, meskipun ia tidak memiliki pengalaman di bidang ini, ia menerimanya dengan senang hati.

Helen Bertemu Anne
Pada 3 Maret 1887 Anne tiba di rumah di Tuscumbia dan untuk pertama kalinya bertemu Helen Keller. Anne segera mulai mengajar Helen mengeja dengan jari. Mengeja kata “boneka” untuk menandai hadiah yang dia bawa untuk Helen. Kata berikutnya yang ia ajarkan pada Helen adalah “kue”. Walaupun Helen dapat mengulangi gerakan-gerakan jari ini, ia tidak dapat sepenuhnya memahami apa artinya. Dan ketika Anne berjuang untuk mencoba membantunya untuk memahami, ia juga mencoba berjuang mengontrol kelakuan buruk Helen yang terus berlanjut.

Anne dan Helen pindah ke sebuah pondok kecil di atas tanah yang masih menjadi bagian dari rumah utama untuk memperbaiki tingkah laku Helen, dengan perhatian khusus atas sikap Helen di meja makan. Helen biasa makan dengan tangannya yang sembarangan mencomot dari piring semua orang yang ada di meja. Anne mencoba memperbaiki sikap Helen di meja makan dan membuatnya menyisir sendiri rambutnya dan mengancingkan sepatunya untuk mengarahkannya lebih dan lebih lagi mengatasi tingkahnya yang penuh amarah. Anne menghukum tingkahnya yang penuh amarah itu dengan menolak “berbicara” dengan Helen dengan tidak mengejakan kata-kata dengan tangannya.

Dalam minggu-minggu yang akan datang, bagaimanapun perilaku Helen mulai ada kemajuan dan ikatan di antara ke-2nya juga bertambah besar. Lalu, setelah sebulan Anne mengajar, apa yang oleh orang-orang pada zamannya disebut sebagai “keajaiban” terjadi.
Sampai saat itu Helen belum juga memahami sepenuhnya arti kata-kata. Ketika Anne menuntunnya ke pompa air pada 5 April 1887, semua itu berubah.
Sewaktu Anne memompa air ke atas tangan Helen, Anne mengeja kata air ke sebelah tangan gadis itu yang bebas. Sesuatu tentang hal ini menjelaskan arti kata-kata itu ke benak Helen, dan Anne segera melihat di wajahnya bahwa Helen akhirnya mengerti.

Helen lalu menceritakan kejadian itu:
“Kami berjalan menuruni jalanan ke rumah, ditarik oleh aroma sarang lebah yang tertutup. Seseorang menggambar air dan guruku menempatkannya di bawah tanganku sesuatu yang memancar. Sewaktu arus dingin yang memancar, di atas sebelah tanganku yang lain guruku mengeja kata air, awalnya lambat, lalu diulangi lagi. Aku masih berdiri, seluruh perhatianku terpusat pada gerakan-gerakan tangannya. Tiba-tiba aku merasa kesadaranku yang berkabut akan sesuatu yang telah terlupakan, suatu ingatan yang mendebarkan kembali, dan bagaimana misteri dari bahasa terungkap olehku.”

Helen segera meminta pada Anne nama dari pompa untuk diejakan di atas tangannya dan kemudian nama dari terali. Sepanjang jalan pulang ke rumah Helen belajar nama dari segala sesuatu yang disentuhnya dan juga menanyakan nama untuk Anne. Anne mengeja kata “Guru” ke atas tangan Helen. dalam beberapa jam berikutnya Helen belajar mengeja 30 kata-kata baru.

Kemajuan Helen sejak saat itu mencengangkan. Kemampuannya untuk belajar maju pesat melampaui dari apa yang pernah dilihat orang lain sebelumnya dalam diri seseorang yang tanpa penglihatan atau pendengaran. Tak terlalu lama sebelum akhirnya Anne mengajar Helen untuk membaca, pertama-tama dengan huruf timbul, lalu dengan Braille, dan menulis dengan mesin tik biasa dan mesin tik Braille.

Michael Anagnos tetap mempromosikan Helen, satu dari banyak artikel yang ia tulis menyatakan bahwa “ia adalah sebuah fenomena.” Artikel ini menuntun ke dalam suatu gelombang publisitas tentang Helen dengan foto ia sedang membaca Shakespeare atau membelai anjingnya yang muncul dalam surat-surat kabar nasional.

Helen menjadi terkenal, dan yang lebih baik lagi ketika mengunjungi Alexander Graham Bell, ia mengunjungi Presiden Cleveland di White House. Pada 1890 ia tinggal di Institusi Perkins dan diajar oleh Anne. Di bulan Maret tahun itu Helen bertemu Mary Swift Lamson yang dalam tahun-tahun berikutnya mencoba mengajar Helen berbicara. Ini adalah sesuatu yang sangat diinginkan Helen dan meskipun ia belajar memahami apa yang orang lain katakan melalui meraba bibir dan tenggorokan mereka, usahanya untuk berbicara terbukti di tahap ini tidak berhasil. Hal ini lalu bertalian dengan fakta bahwa pita suara Helen sebelumnya tidak dilatih dengan semestinya untuk diajari berbicara.

Raja Embun Beku
Pada 4 November 1891, Helen mengirimi Michael Anagnos sebuah hadiah ulang tahun berupa cerita pendek yang ia tulis berjudul “The Frost King” (Raja Embun Beku). Anagnos sangat senang dengan ceritanya hingga ia segera mempublikasikannya dalam sebuah majalah yang disambut sebagai karya yang cukup penting dalam sejarah sastra.

Namun, segera didapati bahwa cerita Helen sama dengan salah satu cerita yang ditulis Margaret Canby yang berjudul “The Frost Fairies (Peri Embun Beku). Hal ini pada akhirnya mengakhiri pertemanan Helen dan Anne dengan Michael Anagnos. Michael merasa ia telah dibuat kelihatan bodoh oleh apa yang ia anggap sebagai penipuan oleh Helen.

Diadakan sebuah investigasi dan didapati bahwa Helen sebelumnya telah membaca cerita itu beberapa tahun sebelumnya dan kelihatan jelas mengingatnya.

Helen selalu mengklaim bahwa ia tidak mengingat cerita yang aslinya dan selalu diingat bahwa Helen pada waktu itu masih berusia 11 tahun, bagaimanapun, kejadian ini menciptakan kerutan yang tidak akan pernah pulih antara Helen, Anne dan Anagnos. Hal itu juga menciptakan keraguan besar dalam pikiran Helen, apakah semua pemikiran-pemikirannya benar-benar berasal dari dirinya.

Pada tahun 1894 Helen dan Anne bertemu John D. Wright dan Dr. Thomas Humason yang berencana untuk mendirikan sebuah sekolah untuk mengajar berbicara orang-orang yang tuli di New York. Helen dan Anne sangat bersemangat atas rencana ini dan kepastian dari dua pria itu bahwa kemampuan Helen berbicara dapat diperbaiki sehingga membuat mereka lebih bersemangat. Dengan begitu Helen setuju untuk menghadiri sekolah Wright Humason bagi tuna rungu.
Sayangnya kemampuan bericara Helen tidak pernah benar-benar diperbaiki, hanya berupa suara-suara yang hanya Anne dan lainnya yang sangat dekat dengannya yang dapat mengerti.

Helen Memasuki Perguruan Tinggi Radcliffe
Helen pindah ke Cambridge, sekolah bagi gadis-gadis muda pada tahun 1896 dan di musim gugur tahun 1900 memasuki Perguruan Tinggi Radcliffe, menjadi orang bisu tuli pertama yang pernah mengikuti institusi pembelajaran yang lebih tinggi.

Hidup di Radcliffe sangat sulit bagi Helen dan Anne dan jumlah kerja yang sangat besar turut menyebabkan memburuknya penglihatan Anne. Selama waktu mereka di perguruan tinggi, Helen menulis tentang hidupnya. Dia menulis cerita dengan mesin tik Braille dan mesin tik biasa sekaligus. Pada saat inilah Helen dan Anne bertemu John Albert Macy yang menolong mengedit buku Helen yang pertama “The Story of My Life” – ‘Kisah Hidupku’, yang diterbitkan pada tahun 1903 dan meskipun pada awalnya kurang baik, kemudian sejak itu menjadi sesuatu yang klasik.

Pada 28 Juni 1904 Helen lulus dari Perguruan Tinggi Radcliffe, menjadi orang bisu tuli pertama yang mendapat gaji dengan gelar seni. John Macy menjadi teman baik Helen dan Anne dan pada Mei 1905 John dan Anne menikah. Nama Anne sekarang berubah menjadi Anne Sullivan Macy. Mereka bertiga tinggal bersama di Wrentham, Massachussets, dan selama waktu ini Helen menulis “The World I Live In” – ‘Dunia yang Kutinggali.’ Menampakkan waktu pertama kali pemikiran-pemikirannya tentang dunianya. Juga selama waktu ini John Macy memperkenalkannya ke dunia baru dan cara revolusioner untuk melihat dunia. Dan pada 1909 Anne menjadi anggota partai Sosialis di Massachussets. Pada 1913 “Out of The Dark – Keluar dari Gelap” dipublikasikan. Ini adalah sebuah seni essai sosialisme dan berdampak pada tenggelamnya imej Helen terhadap publik.


Helen Mengadakan Tur Dunia
Helen dan Anne mengisi tahun-tahun ini dengan mengadakan tur, memberikan ceramah, berbicara tentang pengalaman-pengalamannya dan kepercayaannya pada banyak orang yang terpikat mendengarnya. Apa yang ia katakan diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh Anne Sullivan dan diikuti oleh sesi tanya jawab.

Meski Helen dan Anne menghasilkan kehidupan yang baik ceramah-ceramah mereka, pada 1918 permintaan ceramah untuk Helen berkurang dan mereka melakukan tur dengan hati yang lebih bercahaya sandiwara Vaudeville, yang mendemonstrasikan pemahaman Helen yang pertama atas kata ‘air’. Sandiwara ini sukses besar sejak penampilan perdana, salah satu ulasan diantaranya berbunyi sebagai berikut:
“Helen Keller menaklukkan, dan Senin sore, penonton di istana, satu dari kritikus terkritis dan tersinis di dunia, adalah dirinya.”

Pada waktu ini mereka juga ditawarkan kesempatan membuat sebuah film di Hollywood dan mereka menangkap kesempatan ini, ”Deliverance – Pembebasan”, cerita hidup Helen dibuat. Helen, bagaimanapun, tidak senang dengan keglamoran pada filmnya dan sayangnya terbukti tidak menghasilkan sukses finasial seperti yang mereka harapkan.

Penampilan vaudeville berlanjut dengan Helen menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam skala luas tentang hidupnya dan pandangan politiknya dan Anne menerjemahkan jawaban-jawaban Helen untuk para hadirin yang terpikat.
Pendapatan mereka meningkat hingga $2000 dalam seminggu, patut diperhitungkan pada waktu itu. Pada tahun 1918 Helen, Anne dan John pindah ke Forest Hills di New York. Helen memakai rumah baru mereka sebagai markas atas tur penggalangan dananya bagi institusi tuna netra Amerika. Ia tidak hanya mengumpulkan uang, tapi juga berkampanye tanpa mengenal lelah untuk meringankan kondisi kehidupan dan pekerjaan orang-orang tuna netra yang pada waktu itu biasanya dididik dengan buruk dan tinggal di rumah sakit. Usaha kerasnya adalah faktor utama yang merubah kondisi-kondisi ini.

Ibu Helen, Kate meninggal pada 1921 karena penyakit yang tak diketahui dan hal ini menjadikan Anne sebagai satu-satunya orang yang terus menerus ada pada kehidupan Helen. Namun pada tahun yang sama Anne jatuh sakit lagi dan ini diikuti pada tahun 1922 oleh bronchitis akut yang membuat Anne tak dapat bicara lebih dari berbisik dan dengan begitu membuatnya tidak mampu lagi bekerja dengan Helen di panggung. Pada waktu ini, Polly Thomson, mulai b ekerja pada Helen dan Anne pada 1914 sebagai sekretaris, mengambil peran menjelaskan apa yang dimaksud Helen kepada publik teater.

Mereka juga menghabiskan banyak waktu mengadakan tur dunia menggalang dana bagi orang-orang tuna netra. Pada 1931 mereka bertemu Raja George dan Ratu Mary di Istana Buckingham yang mengungkapkan bahwa mereka sangat terkesan dengan kemampuan Helen untuk memahami apa yang orang katakan dengan meraba.

Sedangkan kesehatan Anne semakin memburuk dan dengan berita meninggalnya John Macy pada 1932, meski pernikahan mereka tidak bertahan beberapa tahun sebelumnya, nyawanya akhirnya tak tertolong. Anne meninggal pada 20 Oktober 1936.

Setelah Anne meninggal, Helen dan Polly pindah ke Arcan Ridge, di Westport, Connecticut, yang menjadi rumah Helen hingga akhir hidupnya.

Setelah Perang Dunia II, Helen dan Polly menghabiskan bertahun-tahun melakukan perjalanan keliling dunia menggalang dana untuk yayasan di Amerika untuk tuna netra di luar negri. Mereka mengunjungi Jepang, Australia, Amerika Utara, Eropa dan Afrika.

Sambil lalu selama waktu ini Helen dan Polly belajar bahwa api yang merusakkan rumah mereka di Arcan Ridge. Meskipun rumah itu akan dibangun kembali, sebaik apapun kenang-kenangan yang Helen dan Polly rasakan kehilangannya juga merusakkan buku Helen yang terakhir yang telah dikerjakannya tentang Anne Sullivan yang berjudul “Guru.”

Juga selama waktu ini kesehatan Polly Thomson mulai memburuk, sementara itu di Jepang ia mengalami strok ringan. Dokter menyatakan Polly untuk berhenti mengikuti tur yang terus menerus yang ia jalani bersama Helen, dan meskipun awalnya hal ini sedikit memperlambat mereka, turnya dilanjutkan sekali lagi setelah Polly pulih.

Pada tahun 1953 sebuah film dokumenter “Tak Terkalahkan” dibuat yang mengisahkan kehidupan Helen, film ini memenangkan Academy Award sebagai film dokumenter terbaik. Hal ini bersamaan waktunya dengan Helen mulai mengerjakan lagi bukunya “Guru” 7 tahun setelah buku aslinya musnah, buku ini akhirnya diterbitkan pada tahun 1955.

Polly Thomson terserang stroke lagi pada tahun 1957, ia tidak pernah benar-benar pulih dan akhirnya meninggal pada tanggal 21 Maret 1960. Abunya disimpan di Katedral Nasional di Washington DC bersebelahan dengan abu Anne Sullivan. Perawat yang dibawa untuk merawat Polly dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Winnie Corbally, yang kemudian merawat Helen sampai tahun-tahun terakhir hidupnya.


Pekerja Ajaib

Pada tahun 1957 “Pekerja Ajaib” pertama kali dipertontonkan. Sebuah drama yang memotret kesuksesan pertama Anne Sullivan berkomunikasi dengan Helen kecil, pertama kali ditampilkan sebagai tayangan di televisi di Amerika Serikat.

Pada tahun 1959 ditulis ulang untuk dipentaskan di Broadway dan mendapat sambutan hangat. Kesuksesannya berlangsung selama hampir 2 tahun. Pada tahun 1962 drama ini diangkat ke dalam sebuah film dan aktris-aktris yang memerankan Anne dan Helen, keduanya menerima Oscar atas peran mereka.

Helen pensiun dari kehidupan publik
Pada Oktober 1961 Helen mengalami serangan stroke pertama dari serangkaian stroke yang ia alami dan membuatnya menarik diri dari publik. Ia menghabiskan tahun-tahun yang tersisa dirawat di rumahnya di Arcan Ridge.

Tahun-tahun terakhir hidupnya bagaimanapun bukannya tanpa kesenangan dan pada tahun 1964 Helen dianugrahi medali kemerdekaan, penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada penduduk sipil, diserahkan oleh Presiden Lyndon Johnson. Setahun kemudian ia terpilih menjadi salah satu wanita yang diabadikan di Hall of Fame di sebuah pameran dunia di New York.

Pada 1 Juni 1968 di Arcan Ridge, Helen Keller meninggal dengan damai dalam tidurnya. Jenazahnya dikremasi di Bridgeport, Connecticut dan sebuah jasa pemakaman mengatur agar guci abunya ditempatkan di Katedral Nasional di Washington yang lalu diletakkan bersebelahan dengan abu Anne Sullivan dan Polly Thomson.

Warisan Helen
Hari ini tempat peristirahatan terakhir Helen adalah makam yang populer di kalangan turis dan plakat perunggu didirikan untuk memperingati hidupnya berikut dengan ukiran yang ditulis dalam huruf Braille:

“Helen Keller dan sahabat tersayangnya Anne Sullivan Macy terkubur di Columbarium di belakang kapel ini”

Begitu banyak orang yang mengunjungi kapel dan menyentuh titik-titik huruf Braille itu, sehingga plakat itu sudah diganti 2 kali.

Jika Helen Keller terlahir hari ini, hidupnya tak diragukan akan sepenuhnya berbeda. Mimpinya selama masih hidup untuk dapat berbicara, suatu hal yang ia tak pernah dapat menjadi ahlinya. Hari ini metode pengajaran telah ada yang dapat menolong Helen untuk mewujudkan mimpi ini. Apa yang akan dilakukan Helen dengan teknologi yang tersedia hari ini bagi orang-orang tuna netra dan tuna rungu? Teknologi yang memampukan orang-orang tuna netra dan tuna rungu, seperti Helen untuk berkomunikasi secara langsung dan mandiri, dengan setiap orang di dunia.

Helen Keller mungkin tidak secara langsung bertanggung jawab atas pembangunan teknologi ini dan metode pengajarannya. Tapi dengan pertolongan Anne Sullivan, melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya dan cara ia menjalani hidupnya, ia telah menunjukkan kepada jutaan orang bahwa cacat bukanlah akhir dari dunia.

Dalam kata-kata Helen sendiri:
“Publik harus belajar bahwa orang buta bukanlah seorang jenius atau aneh atau idiot. Dia memiliki pikiran yang dapat diedukasi, tangan yang dapat dilatih, ambisi-ambisi yang adalah benar baginya untuk bekerja keras mewujudkannya dan adalah tugas publik untuk menolongnya menjadikan dirinya yang terbaik bagi dirinya jadi ia dapat memenangkan cahaya melalui bekerja”

Kisah Helen Keller
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah mataku
(Tapi aku mengingat Milton’s paradise)
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah telingaku
(Beethoven datang dan menghapus air mataku)
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah lidahku
(Tapi aku dapat berbicara dengan Tuhan ketika aku masih muda)
Tuhan tidak akan membiarkan mereka merampas jiwaku.
Memilikinya, aku masih memiliki seluruhnya.

Helen Keller
Pada mulanya?, pompa air hitam di sebuah kota kecil di selatan Tuscumbia, Alabama, salah satu dari tempat-tempat di mana keajaiban dunia berada. Ini dimulai pada suatu hari yang cerah, suatu hari di musim semi di tahun 1887. Segumpal awan putih melayang di atas kepala dengan latar belakang langit biru, ketika burung-burung menggelepar melewati pohon oak dan bunga-bunga maple meloncat keluar dari tanah yang subur dalam barisan warna semuanya tak terdengar dan tak terlihat oleh seorang gadis cantik berumur 7 tahun.

Berdirilah Helen Keller dengan kebutaan total dan ketuliannya, di sampingnya adalah seorang wanita muda, Anne Sullivan. Nona Sullivan dengan mantap memompa air dingin ke salah satu tangan gadis itu sementara ke tangan yang satunya ia berulang kali menuliskan tiga huruf dalam kode alfabet – pertama-tama perlahan lalu semakin cepat. Pemandangan itu berulang, lagi dan lagi ketika Helen kecil dengan sangat tekun berjuang untuk mematahkan dunianya yang bisu.

Tiba-tiba sinyal itu melewati kesadaran Helen dengan sebuah makna. Ia tahu “a-i-r” berarti sesuatu yang dingin yang mengalir di tangannya. Kegelapan menjadi lumer dari pikirannya bagaikan es yang demikian banyak luruh di suatu hari yang cerah di bulan Maret itu. Ketika senja tiba, Helen telah mempelajari 30 kata.

Helen Adams Keller terlahir sehat pada 27 Juni 1880, putri dari Kapten Arthur H dan Kate Adams Keller di Tuscumbia. Ketika usianya masih 19 bulan, ia diserang penyakit yang parah yang menyebabkan kebutaan dan tuli.

Pada usia 6 tahun, setengah liar, gadis buta dan tuli itu dibawa oleh orang tuanya untuk menemui Dr. Alexander Graham Bell. Karena kunjungannya, Helen disatukan dengan gurunya, Anne Mansfield Sullivan pada 3 Maret 1887. setelah terobosan Helen yang ajaib dengan pompa air yang sederhana, ia terbukti sangat berbakat hingga ia segera dapat mempelajari alfabet dengan mengejanya di jari-jarinya dan dalam waktu singkat sesudahnya dapat menulis. Pada akhir Agustus, dalam waktu 6 bulan saja, ia telah mengetahui 625 kata.

Pada usia 10 tahun, Helen telah ahli menggunakan huruf Braille sebaik dengan huruf manual dan bahkan belajar menggunakan mesin tik. Seiring waktu ketika berusia 16 tahun, Helen dapat berbicara cukup baik untuk pergi ke sekolah persiapan dan ke perguruan tinggi. Pada tahun 1904, ia lulus dengan predikat “cum laude” dari Perguruan Tinggi Radcliffe. Gurunya tinggal bersamanya selama tahun-tahun itu, menerjemahkan ceramah-ceramahnya dan kelas diskusi baginya. Helen Keller, dari seorang gadis kecil, menjadi salah satu dari wanita yang luar biasa dalam sejarah. Ia mendedikasikan hidupnya untuk memajukan kondisi orang-orang buta dan buta-tuli di dunia, memberi ceramah di lebih dari 25 negara di 5 benua utama. Di manapun dia muncul, dia membawa keberanian baru bagi jutaan penyandang tuna netra.

Gurunya, Anne Sullivan diingat sebagai “pekerja ajaib” atas dedikasinya selama hidupnya, kesabaran dan cintanya kepada gadis selatan yang setengah liar yang terperangkap dalam dunia penuh kegelapan.



Selasa, 03 Januari 2012

Email Dari Rasul

Malam sudah cukup larut, namun mata ini masih tak bisa terpejam. Semua tugas-tugas kantor yang kubawa pulang sudah selesai, tak lupa kusediakan setengah jam sebelum pukul 23.00 untuk membalas beberapa email yang baru sempat terbaca malam ini. Nyaris saja kupilih menu ‘shut down’ setelah sebelumnya menutup semua jendela di layar komputer, tiba-tiba muncul alert yahoo masuknya email baru. 


“You have 1 new message(s)...”


Seperti biasanya, aku selalu tersenyum setiap kali alert itu muncul, karena sudah bisa diduga, email itu datang dari orang-orang, sahabat, saudara, kerabat, intinya, aku selalu senang menunggu kabar melalui email dari mereka. Tapi yang ini ... Ooopss ... ini pasti main-main ... disitu tertulis, 


“From: Muhammad Rasul Allah”

Walaupun sudah seringkali menerima junkmail atau beraneka spam, namun kali ini aku tidak menganggapnya sebagai email sampah atau orang sedang main-main denganku. Maklum, meski selama ini sering sekali teman-teman yang ‘ngerjain’, tapi kali ini, sekonyol-konyolnya teman-teman sudah pasti tidak ada yang berani mengatasnamakan Rasulullah Saw. Maka dengan hati-hati, kuraih mouse-ku dan ... klik ...


“Salam sejahtera saudaraku, bagaimana khabar imanmu hari ini ... 
Kebaikan apa yang sudah kau perbuat hari ini, sebanyak apa perbuatan dosamu hari ini ...”


Aku tersentak ... degub didada semakin keras, sedetik kemudian, ritmenya terus meningkat cepat. Kuhela nafas dalam-dalam untuk melegakan rongga dada yang serasa ditohok teramat keras hingga menyesakkan. Tiga pertanyaan awal dari “Rasulullah” itu membuatku menahan nafas sementara otakku berputar mencari dan memilih kata untuk siap-siap me-reply email tersebut. Barisan kalimat “Rasulullah” belum selesai, tapi rasanya terlalu berat untuk melanjutkannya. Antara takut dan penasaran bergelut hingga akhirnya kuputuskan untuk membacanya lagi.

“Cinta seorang ummat kepada Rasulnya, harus tercermin dalam setiap perilakunya. Tidak memilih tempat, waktu dan keadaan. Karena aku, akan selalu mencintai ummatku, tak kenal lelah. Masihkah kau mencintaiku hari ini?”

Air menetes membasahi pipiku, semakin kuteruskan membaca kalimat-kalimatnya, semakin deras air yang keluar dari sudut mataku.

“Pengorbanan seorang ummat terhadap agamanya, jangan pernah berhenti sebelum Allah menghendaki untuk berhenti. Dan kau tahu, kehendak untuk berhenti memberikan pengorbanan itu, biasanya seiring dengan perintah yang diberikan-Nya kepada Izrail untuk menghentikan semua aktifitas manusia. Sampai detik ini, pernahkah kau berkorban untuk Allah?”

Kusorot ketengah halaman ....

“Sebagai Ayah, aku contohkan kepada ummatku untuk menyayangi anak-anak mereka dengan penuh kasih. Kuajari juga bagaimana mencintai istri-istri tanpa sedikit melukai perasaannya, sehingga kudapati istri-istriku teramat mencintaiku atas nama Allah. Aku tidak pernah merasakan memiliki orangtua seperti kebanyakan ummatku, tapi kepada orang-orang yang lebih tua, aku sangat menghormati, kepada yang muda, aku mencintai mereka. Sudahkah hari ini kau mencium mesra dan membelai lembut anak-anakmu seperti yang kulakukan terhadap Fatimah? Masihkah panggilan sayang dan hangat menghiasi hari-harimu bersama istrimu? Sudahkah juga kau menjadi pemimpin yang baik untuk keluargamu, seperti aku mencontohkannya langsung terhadap keluargaku?
Satu hentakkan pagedown lagi ...

“Aku telah memberi contoh bagaimana berkasih sayang kepada sesama mukmin, bersikap arif dan bijak namun tegas kepada manusia dari golongan lainnya, termasuk menghormati keberadaan makhluk lain dimuka bumi. Saudaraku ...”

Cukup sudah. Aku tak lagi sanggup meneruskan rentetan kalimatnya hingga habis. Masih tersisa panjang isi email dari Rasulullah, namun baru yang sedikit ini saja, aku merasa tidak kuat. Aku tidak sanggup meneruskan semuanya karena sepertinya Rasulullah sangat tahu semua kesalahan dan kekuranganku, dan jika kulanjutkan hingga habis, yang pasti semuanya tentang aku, tentang semua kesalahan dan dosa-dosaku.

Kuhela nafas panjang berkali-kali, tapi justru semain sesak. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, entah apa yang terjadi. Sudah tibakah waktuku? Padahal aku belum sempat me-reply email Rasulullah itu untuk memberitahukan kepada beliau bahwa aku tidak akan menjawab semua emailku dengan kata-kata. Karena aku yakin, Rasul lebih senang aku memperbaiki semua kesalahanku hari ini dan hari-hari sebelumnya, dari pada harus bermanis-manis mengumbar kata memikat hati, yang biasanya tak berketerusan dengan amal yang nyata.

Pandanganku kini benar-benar gelap, pekat sampai tak ada lagi yang bisa terlihat. Hingga ... nit... nit... alarm jam tanganku berbunyi. 00.00 WIB. Ah, kulirik komputerku, kosong, kucari-cari email dari Rasulullah di inbox-ku. Tidak ada. Astaghfirullaah, mungkinkah Rasulullah manusia mulia itu mau mengirimi ummatnya yang belum benar-benar mencintainya ini sebuah email? Ternyata aku hanya bermimpi, mungkin mimpi yang berangkat dari kerinduanku akan bertemu Rasul Allah. Tapi aku merasa berdosa telah bermimpi seperti ini. Tinggal kini, kumohon ampunan kepada Allah atas kelancangan mimpiku. Wallahu ‘a’lam bishshowaab 

Sumber: anonim kalau tidak salah ni kerjaan anak2 MQ Bandung-red [file lama laptop seorang kawan]

Bercermin Diri

Sahabatku,

Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.

Sahabatku,

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?"

Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini  yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?"

Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, 'laaillaahaillallaah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"

"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?"

Sahabatku,

Tataplah diri kita dan tanyalah, "Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!"

"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?"

"Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?"

"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"

Sahabatku,

Ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu"

"Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, ...ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"

Sungguh  betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!

Sahabat sekalian,

Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.***


Sumber: Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001

Senin, 02 Januari 2012

Aku Dimakamkan Hari Ini


Perlahan, tubuhku ditutup tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah langkah terakhir mereka
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...

Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apatah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,
rekan bisnis, atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri, disini,
menunggu perhitungan ...

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri...

Tuhanku,
(entah dari mana kekuatan itu datang,
setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja...

Aku harus berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku.
yang selama ini telah aku sakiti hati nya
yang selama ini telah aku bohongi

Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar dulu

Dan Tuhan,
beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta ,
teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati mereka ,
maafkan aku ayah dan ibu ,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayang mu
beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
untuk sungguh sungguh beramal soleh ,
Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu,
bersama mereka ...

begitu sesal diri ini
karena hari hari telah berlalu tanpa makna
penuh kesia sia an
kesenangan yg pernah kuraih dulu, tak ada artinya
sama sekali mengapa ku sia sia saja ,
waktu hidup yg hanya sekali itu
andai ku bisa putar ulang waktu itu ...

Aku dimakamkan hari ini,
dan semua menjadi tak terma'afkan,
dan semua menjadi terlambat,
dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan ...


Sumber: anonim [LMT TRUSTCO]